Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara
kepada penemu atas hasil penemuannya di bidang teknologi, yang untuk selama
waktu tertentu melaksanakan sendiri Invensinya tersebut atau memberikan
persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya. (UU 14 tahun 2001, ps.
1, ay. 1).
Banyak kasus mengenai pelanggaran hak paten yang
dapat menimbulkan permasalahan yang panjang. Hal tersebut disebabkan oleh pihak
peniru yang menginginkan produknya dapat dipasarkan secara luas seperti produk
aslinya dan terutama menginginkan keuntungan yang besar. Pihak peniru pun akan
mengalami kerugian yang sangat besar, karena nama baik perusahaannya menjadi
tercemar. Berikut 2 kasus hak paten:
1. Samsung Tambahkan
iPhone 5 Pada Kasus Hak Paten
Samsung Electronics
Co. mengatakan bahwa perusahaan Korea Selatan itu telah mengajukan mosi kepada
pengadilan di Amerika Serikat untuk menambahkan iPhone 5 produksi Apple dalam
perang hak paten di antara mereka. Samsung menyatakan bahwa mosi itu diajukan
Senin (1/10) pada pengadilan California, dengan dugaan bahwa telepon terbaru
keluaran Apple itu melanggar delapan hak patennya.
Dua
perusahaan itu terlibat dalam pergulatan untuk menjadi yang teratas dalam pasar
telepon pintar global, yang berakibat pada kasus-kasus hukum di pengadilan di
10 negara. Samsung mengeluarkan pernyataan tertulis pada Selasa (2/10),
bahwa “kami selalu lebih suka berkompetisi di pasar dengan produk-produk
inovatif kami, daripada di pengadilan. Namun Apple terus mengambil langkah
hukum yang agresif yang akan membatasi persaingan pasar.” Selain itu,
“pilihan kami tidak banyak selain mengambil langkah yang diperlukan untuk
melindungi inovasi dan hak kekayaan intelektual kami.”
Samsung
juga mengeluarkan pernyataan bahwa pengadilan AS telah mencabut larangan
sementara atas penjualan Galaxy Tab 10.1 di Amerika. Meski Galaxy 10.1
merupakan model lama, pencabutan larangan tersebut dapat membantu Samsung dalam
menghadapi musim liburan yang penting. “Kami merasa senang dengan keputusan
pengadilan, yang membela posisi kami bahwa tidak ada pelanggaran paten desain
Apple dan bahwa pelarangan tersebut tidak diperlukan,” ujar Samsung dalam
pernyataannya.
2. Tolak
Hak Paten, Perusahaan Obat Asing Kecam India
Keputusan Mahkamah Agung India menolak hak
paten atas obat kanker, dipandang sebagai upaya menyediakan obat terjangkau di
dalam negeri, namun merupakan pukulan bagi perusahaan farmasi asing.
NEW DELHI — Dalam sebuah
putusan yang penting, Mahkamah Agung India telah menolak hak paten bagi obat
kanker yang dihasilkan oleh perusahaan farmasi Swiss. Keputusan itu dipandang
sebagai dorongan besar untuk menyediakan obat yang terjangkau guna mengobati
penyakit mematikan, tapi merupakan pukulan besar bagi perusahaan-perusahaan
farmasi Barat yang memperjuangkan perlindungan hak paten yang lebih ketat di
India.
Sengketa hukum selama tujuh tahun antara
perusahaan farmasi Novartis dan pemerintah India berakhir hari Senin ketika
Mahkamah Agung mengatakan bahwa obat kanker Glivec tidak dianggap sebagai
"temuan atau inovasi baru," yang disyaratkan hukum India untuk
mendapat hak paten. Perusahaan farmasi Novartis ingin mematenkan versi terbaru Glivec yang mereka sebut sebagai
kemajuan besar dari obat sebelumnya. Namun, India mengatakan Glivec bukan obat
baru, melainkan versi perbaikan dari obat yang sudah ada sebelumnya.
Glivec selama ini digunakan untuk mengobati leukemia dan dipatenkan
oleh banyak negara. Pengacara Asosiasi Pasien Bantuan Kanker di New Delhi,
Anand Grover, mengatakan hukum paten India lebih ketat dibanding banyak negara
lainnya dan hanya memberikan hak paten kepada produk-produk asli. Kasus ini
secara luas dipandang sebagai sengketa tingkat tinggi antara perusahaan farmasi
Barat yang menghendaki perlindungan hak paten yang lebih ketat di India, dan
para aktivis layanan kesehatan global yang berjuang untuk mendapatkan obat yang
terjangkau yang diproduksi oleh industri obat generik yang berkembang di India.
Para aktivis layanan kesehatan menyambut baik
putusan Mahkamah Agung itu. Doctors Without Borders mengatakan putusan itu
melindungi kesehatan masyarakat dan akan menjamin bahwa jutaan orang di seluruh
dunia bisa mendapat obat-obatan yang terjangkau harganya untuk mengobati
penyakit mematikan seperti AIDS, TBC dan kanker. Jennifer Kohn adalah direktur
medis Doctors Without Borders di Jenewa. Ia mengatakan,"India memproduksi
80 persen obat generik yang digunakan di negara-negara berpenghasilan rendah dan
menengah. Agar kita dapat menggunakan obat-obatan penyelamat nyawa yang
penting, kita harus bisa mendapat obat generik yang lebih murah."
Perbedaan harga antara obat generik dan bermerek
sangat besar - dosis satu bulan Glivec, misalnya, harganya sekitar 2.500 dolar,
dibandingkan dengan sekitar 175 dolar untuk versi generiknya di India. Perusahaan-perusahaan
obat kesal dengan putusan itu. Novartis telah menyatakan keprihatinan tentang
“semakin tidak diakuinya hak atas kekayaan intelektual” di India. Ranjit
Shahani mengepalai perusahaan Swiss tersebut di India.
"Ini sangat tidak menggembirakan dan
menunjukkan bahwa lingkungan penunjang inovasi tidak ada di India… kami telah
melihat bahwa investasi dalam pusat-pusat penelitian dan pengembangan sejak
tahun 2005, sejak kami memiliki hukum paten, semuanya tanpa terkecuali telah
pindah ke Tiongkok, jadi kita perlu mengarahkan investasi ini ke India,” kata
Ramjit Shahani. Putusan Mahkamah Agung itu juga merupakan pukulan bagi
perusahaan multinasional lain yang terlibat dalam sengketa paten di India.
India tidak ragu-ragu dalam memperbolehkan produksi lokal obat-obatan mahal.
Tahun lalu, India memberi lampu hijau kepada
produsen lokal untuk membuat versi generik dari obat kanker buatan Bayer,
dengan mengatakan perlunya menyediakan obat-obatan dengan harga yang
terjangkau. Perusahaan-perusahaan obat multinasional melihat hukum di India
sebagai cara menghindari hak-hak paten dan mengatakan perlindungan hak paten
yang tidak memadai akan mencegah inovasi.
http://www.voaindonesia.com/content/tolakan-hak-paten-perusahaan-obat-asing-kecam-india/1632848.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar