Pages

Selasa, 23 April 2013

HAK PATEN

Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada penemu atas hasil penemuannya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri Invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya. (UU 14 tahun 2001, ps. 1, ay. 1).
Banyak kasus mengenai pelanggaran hak paten yang dapat menimbulkan permasalahan yang panjang. Hal tersebut disebabkan oleh pihak peniru yang menginginkan produknya dapat dipasarkan secara luas seperti produk aslinya dan terutama menginginkan keuntungan yang besar. Pihak peniru pun akan mengalami kerugian yang sangat besar, karena nama baik perusahaannya menjadi tercemar. Berikut 2 kasus hak paten:

1.    Samsung Tambahkan iPhone 5 Pada Kasus Hak Paten

    Samsung Electronics Co. mengatakan bahwa perusahaan Korea Selatan itu telah mengajukan mosi kepada pengadilan di Amerika Serikat untuk menambahkan iPhone 5 produksi Apple dalam perang hak paten di antara mereka. Samsung menyatakan bahwa mosi itu diajukan Senin (1/10) pada pengadilan California, dengan dugaan bahwa telepon terbaru keluaran Apple itu melanggar delapan hak patennya.
Dua perusahaan itu terlibat dalam pergulatan untuk menjadi yang teratas dalam pasar telepon pintar global, yang berakibat pada kasus-kasus hukum di pengadilan di 10 negara. Samsung mengeluarkan pernyataan tertulis pada Selasa (2/10), bahwa “kami selalu lebih suka berkompetisi di pasar dengan produk-produk inovatif kami, daripada di pengadilan. Namun Apple terus mengambil langkah hukum yang agresif yang akan membatasi persaingan pasar.” Selain itu, “pilihan kami tidak banyak selain mengambil langkah yang diperlukan untuk melindungi inovasi dan hak kekayaan intelektual kami.”
Samsung juga mengeluarkan pernyataan bahwa pengadilan AS telah mencabut larangan sementara atas penjualan Galaxy Tab 10.1 di Amerika. Meski Galaxy 10.1 merupakan model lama, pencabutan larangan tersebut dapat membantu Samsung dalam menghadapi musim liburan yang penting. “Kami merasa senang dengan keputusan pengadilan, yang membela posisi kami bahwa tidak ada pelanggaran paten desain Apple dan bahwa pelarangan tersebut tidak diperlukan,” ujar Samsung dalam pernyataannya. 
  
2.    Tolak Hak Paten, Perusahaan Obat Asing Kecam India

Keputusan Mahkamah Agung India menolak hak paten atas obat kanker, dipandang sebagai upaya menyediakan obat terjangkau di dalam negeri, namun merupakan pukulan bagi perusahaan farmasi asing.
NEW DELHI — Dalam sebuah putusan yang penting, Mahkamah Agung India telah menolak hak paten bagi obat kanker yang dihasilkan oleh perusahaan farmasi Swiss. Keputusan itu dipandang sebagai dorongan besar untuk menyediakan obat yang terjangkau guna mengobati penyakit mematikan, tapi merupakan pukulan besar bagi perusahaan-perusahaan farmasi Barat yang memperjuangkan perlindungan hak paten yang lebih ketat di India.
Sengketa hukum selama tujuh tahun antara perusahaan farmasi Novartis dan pemerintah India berakhir hari Senin ketika Mahkamah Agung mengatakan bahwa obat kanker Glivec tidak dianggap sebagai "temuan atau inovasi baru," yang disyaratkan hukum India untuk mendapat hak paten. Perusahaan farmasi Novartis ingin mematenkan versi terbaru Glivec yang mereka sebut sebagai kemajuan besar dari obat sebelumnya. Namun, India mengatakan Glivec bukan obat baru, melainkan versi perbaikan dari obat yang sudah ada sebelumnya. 
Glivec selama ini digunakan untuk mengobati leukemia dan dipatenkan oleh banyak negara. Pengacara Asosiasi Pasien Bantuan Kanker di New Delhi, Anand Grover, mengatakan hukum paten India lebih ketat dibanding banyak negara lainnya dan hanya memberikan hak paten kepada produk-produk asli. Kasus ini secara luas dipandang sebagai sengketa tingkat tinggi antara perusahaan farmasi Barat yang menghendaki perlindungan hak paten yang lebih ketat di India, dan para aktivis layanan kesehatan global yang berjuang untuk mendapatkan obat yang terjangkau yang diproduksi oleh industri obat generik yang berkembang di India.
Para aktivis layanan kesehatan menyambut baik putusan Mahkamah Agung itu. Doctors Without Borders mengatakan putusan itu melindungi kesehatan masyarakat dan akan menjamin bahwa jutaan orang di seluruh dunia bisa mendapat obat-obatan yang terjangkau harganya untuk mengobati penyakit mematikan seperti AIDS, TBC dan kanker. Jennifer Kohn adalah direktur medis Doctors Without Borders di Jenewa. Ia mengatakan,"India memproduksi 80 persen obat generik yang digunakan di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. Agar kita dapat menggunakan obat-obatan penyelamat nyawa yang penting, kita harus bisa mendapat obat generik yang lebih murah."
Perbedaan harga antara obat generik dan bermerek sangat besar - dosis satu bulan Glivec, misalnya, harganya sekitar 2.500 dolar, dibandingkan dengan sekitar 175 dolar untuk versi generiknya di India. Perusahaan-perusahaan obat kesal dengan putusan itu. Novartis telah menyatakan keprihatinan tentang “semakin tidak diakuinya hak atas kekayaan intelektual” di India. Ranjit Shahani mengepalai perusahaan Swiss tersebut di India.
"Ini sangat tidak menggembirakan dan menunjukkan bahwa lingkungan penunjang inovasi tidak ada di India… kami telah melihat bahwa investasi dalam pusat-pusat penelitian dan pengembangan sejak tahun 2005, sejak kami memiliki hukum paten, semuanya tanpa terkecuali telah pindah ke Tiongkok, jadi kita perlu mengarahkan investasi ini ke India,” kata Ramjit Shahani. Putusan Mahkamah Agung itu juga merupakan pukulan bagi perusahaan multinasional lain yang terlibat dalam sengketa paten di India. India tidak ragu-ragu dalam memperbolehkan produksi lokal obat-obatan mahal.
Tahun lalu, India memberi lampu hijau kepada produsen lokal untuk membuat versi generik dari obat kanker buatan Bayer, dengan mengatakan perlunya menyediakan obat-obatan dengan harga yang terjangkau. Perusahaan-perusahaan obat multinasional melihat hukum di India sebagai cara menghindari hak-hak paten dan mengatakan perlindungan hak paten yang tidak memadai akan mencegah inovasi.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar