Nasip Pandidikan Anak di Pelosok Daerah
JAKARTA--Satu juta lebih anak rentang usia 7-15 tahun (SD dan SMP)
setiap tahun putus sekolah. Terutama anak-anak di pelosok daerah
terpencil
Ada berbagai faktor yang membuat anak di pelosok
daerah terpencil putus sekolah, yakni tidak ada biaya, lokasi sekolah
lanjutan jauh, terbatasnya transportasi, dan karena harus bekerja
membantu orangtua.
Berdasarkan penelitian World Vision Indonesia, di sekolah-sekolah terpelosok juga masih ditemukan oknum guru yang berbisnis buku untuk mencari keuntungan. Praktik diskriminasi terhadap murid juga sering dirasakan siswa.Siswa yang aktif diperhatikan dan siswa yang kurang aktif terabaikan. Bahkan, transaksi jual beli nilai pun masih terjadi.
''Masih ada guru yang mengajar dengan cara kekerasan. Selain itu, ada juga anak-anak yang putus sekolah karena pergaulan bebas,'' ujar Arevi Yestia, salah seorang siswa yang tergabung dengan Forum Pemimpin Muda Nasional (FPMN), kepada Wakil Menteri Pendidikan Nasional (Wamendiknas), Fasli Jalal, di Kantor Kementerian Pendidikan Nasional, Kamis (8/7).
Menurut Arevi, orangtua dan sekolah seharusnya dapat memberi motivasi dan memfasilitasi anak sehingga anak terpacu untuk sekolah. Pemerintah juga diminta tanggap terhadap permasalahan anak-anak di daerah pelosok atau terpencil. Sera, siswa SD dari Wamena, Papua, menambahkan, di SD tempatnya bersekolah hanya ada tiga guru yang mengajar dari kelas 1 sampai kelas 6. “Semua guru mengajar di semua kelas,” ucapnya.
Wamendiknas Fasli Jalal mengakui sekitar 3-4 persen anak di pelosok belum terjangkau pendidikan. Hal itu disebabkan banyaknya jumlah anak yang harus dilayani pendidikannya, sementara kemampuan pemerintah terbatas. Fasli menyebutkan, untuk pendidikan anak usia dini, ada sekitar 28 juta anak di seluruh Indonesia yang harus dilayani pendidikannya. Ditambah lagi 4 juta anak yang lahir setiap tahunnya.
Sementara itu, untuk pendidikan wajib belajar sembilan tahun, ada 29 juta anak yang harus dilayani karena ada anak yang belum waktunya masuk SD sudah masuk atau telat masuk SD. Di tengah banyaknya jumlah anak yang harus dilayani pendidikannya itu, sekolah di daerah- daerah memang jauh dari pemukiman masyarakat dan dari segi jumlah masih perlu penambahan.
Sekolah SD dan SMP satu atap, kata Fasli, merupakan salah satu solusi agar anak di pelosok dapat terlayani pendidikannya sehingga mengurangi anak yang putus sekolah. Di samping itu, ia juga berjanji akan menambah guru di daerah pelosok yang masuk dalam kategori sangat kurang guru.
Nantinya, Fasli berjanji akan mengkoordinasikan dengan dinas pendidikan daerah. Dia juga menyesalkan jika masih ada guru yang melakukan cara kekerasan dalam mengajar di kelas. ''Seharusnya guru menciptakan suasana kelas yang menyenangkan. Dan sudah jelas transaksi apa pun, termasuk transaksi jual beli buku dan nilai itu dilarang,'' tegasnya.
Berdasarkan penelitian World Vision Indonesia, di sekolah-sekolah terpelosok juga masih ditemukan oknum guru yang berbisnis buku untuk mencari keuntungan. Praktik diskriminasi terhadap murid juga sering dirasakan siswa.Siswa yang aktif diperhatikan dan siswa yang kurang aktif terabaikan. Bahkan, transaksi jual beli nilai pun masih terjadi.
''Masih ada guru yang mengajar dengan cara kekerasan. Selain itu, ada juga anak-anak yang putus sekolah karena pergaulan bebas,'' ujar Arevi Yestia, salah seorang siswa yang tergabung dengan Forum Pemimpin Muda Nasional (FPMN), kepada Wakil Menteri Pendidikan Nasional (Wamendiknas), Fasli Jalal, di Kantor Kementerian Pendidikan Nasional, Kamis (8/7).
Menurut Arevi, orangtua dan sekolah seharusnya dapat memberi motivasi dan memfasilitasi anak sehingga anak terpacu untuk sekolah. Pemerintah juga diminta tanggap terhadap permasalahan anak-anak di daerah pelosok atau terpencil. Sera, siswa SD dari Wamena, Papua, menambahkan, di SD tempatnya bersekolah hanya ada tiga guru yang mengajar dari kelas 1 sampai kelas 6. “Semua guru mengajar di semua kelas,” ucapnya.
Wamendiknas Fasli Jalal mengakui sekitar 3-4 persen anak di pelosok belum terjangkau pendidikan. Hal itu disebabkan banyaknya jumlah anak yang harus dilayani pendidikannya, sementara kemampuan pemerintah terbatas. Fasli menyebutkan, untuk pendidikan anak usia dini, ada sekitar 28 juta anak di seluruh Indonesia yang harus dilayani pendidikannya. Ditambah lagi 4 juta anak yang lahir setiap tahunnya.
Sementara itu, untuk pendidikan wajib belajar sembilan tahun, ada 29 juta anak yang harus dilayani karena ada anak yang belum waktunya masuk SD sudah masuk atau telat masuk SD. Di tengah banyaknya jumlah anak yang harus dilayani pendidikannya itu, sekolah di daerah- daerah memang jauh dari pemukiman masyarakat dan dari segi jumlah masih perlu penambahan.
Sekolah SD dan SMP satu atap, kata Fasli, merupakan salah satu solusi agar anak di pelosok dapat terlayani pendidikannya sehingga mengurangi anak yang putus sekolah. Di samping itu, ia juga berjanji akan menambah guru di daerah pelosok yang masuk dalam kategori sangat kurang guru.
Nantinya, Fasli berjanji akan mengkoordinasikan dengan dinas pendidikan daerah. Dia juga menyesalkan jika masih ada guru yang melakukan cara kekerasan dalam mengajar di kelas. ''Seharusnya guru menciptakan suasana kelas yang menyenangkan. Dan sudah jelas transaksi apa pun, termasuk transaksi jual beli buku dan nilai itu dilarang,'' tegasnya.
Sumber REPUBLIKA.CO.ID
Tidak ada komentar:
Posting Komentar